Dilema Penataaan PKL

Sabtu, April 14, 2007

Agus Siregar
Ketua Persatuan Pedagang Kaki Lima Tanjungkarang

Fenomena sektor informal lahir sebagai dampak dari krisis ekonomi yang menerpa Indonesia. Sejak krisis ekonomi 1997/98, kondisi perekonomian Indonesia sampai saat ini belum dapat dikatakan pulih. Laju perekonomian negeri ini terus diiringi dengan meroketnya angka pengangguran terbesar sepanjang sejarah bangsa ini.


Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandar Lampung, angka pengangguran di Lampung meningkat dari 333.535 jiwa pada tahun 2003 menjadi 355.740 jiwa pada tahun 2004. Pada tahun 2003, jumlah penduduk usia kerja (di atas usia 15 tahun) meningkat dari 4,68 juta jiwa menjadi 4,71 juta jiwa pada tahun 2004. Terakhir, BPS menyatakan di Lampung tahun 2006 meningkat dibandingkan dengan tahun 2005, yakni naik dari 0,36% menjadi 6,16%.

Sementara, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dalam waktu satu tahun terkahir meningkat dari 8,5% tahun 2005 menjadi 9,13% pada tahun 2006 (Lampost, 9 April 2006). Rasio ini menggambarkan bahwasannya banyaknya pencari kerja tidak berbanding dengan lapangan kerja yang tersedia.

Tingginya angka pengangguran berkorelasi dengan tumbuhnya kegiatan di sektor informal seperti pedagang kaki lima (PKL). Prof. Mubyarto menyatakan krisis moneter yang terjadi telah menurunkan kegiatan sektor modern/formal yang berdampak pada meningkatnya kegiatan ekonomi/industri sektor tradisional/informal/ekonomi rakyat. Usaha ini tumbuh dan berkembang bagai jamur di tengah situasi krisis yang melanda, dimana rakyat dituntut untuk tetap survive. Akhirnya, sektor-sektor informal dengan modal yang tidak terlalu besar menjadi pilihan pekerjaaan alernatif bagi rakyat di tengah sulitnya lapangan kerja.

Hak atas pekerjaan sangat penting untuk memberi jaminan terhadap martabat dan harga diri para pemilik hak yang tercantum dalam Pasal 6 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Kovenan Ekosob dirancang untuk menjamin perlindungan terhadap manusia dengan sepenuhnya berdasarkan pada suatu pandangan bahwa manusia berhak menikmati hak, kebebasan, dan keadilan sosial secara bersamaan. Indonesia merupakan salah satu negara yang terlibat dalam ratifikasi kovenan ini.

Pasal 6 Kovenan Ekosob tentang hak untuk bekerja ditujukan untuk menjamin pekerjaan kepada semua orang yang dapat bekerja. Pekerjaan yang dipilih secara bebas tetap menjadi bagian hakiki manusia. Bagi banyak orang, dalam hal ini PKL selaku pekerja informal, berdagang di kaki lima merupakan sumber utama pendapatan bagi penghidupan, kelangsungan hidup, dan kehidupannya. Hak untuk bekerja adalah hal yang sangat dasar bagi pemenuhan penghidupan. Sebagai bentuk usaha informal, PKL menjadi sandaran hidup bagi sebagian rakyat yang tak terserap dalam dunia kerja formal.

Harus diakui, fenomena PKL masih memendam banyak persoalan dalam pembangunan perkotaan di Indonesia, tak terkecuali di Kota Bandar Lampung sendiri. Dalam banyak kasus, memang keberadaan PKL lebih sering dipandang menganggu ketertiban dan keindahan kota. Karena itu, berita tentang penggusuran dan bentrokan antara PKL dan aparat Trantib kerap mewarnai media massa. Ironisnya, kalau boleh jujur, tentunnya aparat Trantib juga sering menarik uang dari para PKL, terlepas dari uang tersebut dimasukkan ke dalam kas negara atau tidak.

Penolakan para PKL yang ada di Bambukuning terhadap recana relokasi para PKL ke Lantai 3, dikarenakan para PKL menginginkan lokasi yang masih dekat dengan konsumennya. Kebijakan relokasi adalah pilihan kebijakan yang dalam kenyataan sering mengurangi penghasilan PKL.

Ketika lokasi baru yang ditentukan pemerintah berada jauh dari jalan raya maka sebetulnya para PKL tidak lagi menjadi PKL. Bukan bangunan mewah yang dibutuhkan oleh PKL, melainkan justru yang masih berciri kaki lima, sederhana, dan mudah terjangkau pengunjung. Sering, program pemerintah yang berbiaya mahal menjadi sia-sia karena fasilitas ini tidak sejalan dengan kebutuhan PKL.

Di sisi lain juga, kelayakan bangunan sebagai tempat relokasi masih diperdebatkan oleh berbagai pihak termasuk dari kalangan pedagang sediri. Ketua Komisi C DPRD Bandar Lampung Khairul Bakti sendiri menilai kondisi fisik lantai III Pasar Bambukuning tidak layak ditempati PKL karena rawan ambruk.

Penataan Partisipatif
Paradigma baru sektor informal melihat bahwa sesungguhnya sektor ini memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian, sehingga perlu didukung dan difasilitasi. Namun, dukungan dan fasilitas ini tidak akan banyak bermanfaat bagi sektor informal, seperti PKL, bila prosesnya tidak melibatkan para pelaku sektor tersebut.

Berdasarkan cara pandang yang baru tersebut, pemerintah perlu memberikan regulasi yang tepat untuk mendukung dan memfasilitasi sektor informal.

Selama ini dalam hal pembuatan peraturan dan rencana penataan, banyak pihak menilai bahwa pemerintah kurang mengikutsertakan mereka. Sebagai contoh Perda No.8/2000 tentang Keindahan, Ketertiban, Kenyamanan, Keamanan, dan Keapikan Kota Bandar Lampung, di mata PKL peraturan ini ujung-ujungnya dipandang hanyalah sebagai upaya pemerintah merelokasi PKL.

Wajar kemudian ketika kebijakan relokasi yang direncanakan oleh Pemkot Bandarlampung mendapatkan kecaman dari para PKL. Hal ini terjadi karena kebijakan relokasi itu sendiri dalam proses perencanaannya kurang melibatkan PKL, sehingga dianggap tidak sejalan dengan kebutuhan PKL. Pemerintah Kota Bandarlampung semestinya lebih serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL yang tergabung dalam paguyuban-paguyuban PKL sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.

Perlu dicatat pula bahwa pada dasarnya PKL bukannya tidak bersedia ditata dan dibina. Kalau ada kesan ketidakmauan, itu lebih karena kebijakan yang dipakai oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung hendaknya tidak lagi menganut paham bahwa PKL tidak mau ditata dan diatur. Justru pemerintah mesti mengintensifkan komunikasi dengan PKL melalui organisasi-organisasi pedagang yang telah ada agar dapat dihasilkan bentuk penataan dan pembinaan yang sejalan dengan kepentingan masing-masing pihak. Hal ini tentunnya dapat disiasati dengan penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses dalam hal proses pengambilan keputusan.

Aspek lain sepeti masalah regulasi, diluruskan pula bahwa pelaku sektor informal bukannya tidak mau diatur sehingga ilegal,melainkan yang dibutuhkan oleh para PKL adalah upaya pengurangan hambatan-hambatan registrasi dan biaya transaksi lainnya serta upaya meningkatkan manfaat dari regulasi. Oleh karena itu, tidak heran ketika regulasi tidak memberikan banyak manfaat maka pelaku sektor informal tidak meresponsnya secara sungguh-sungguh.

Sekali lagi, pemerintah hendaknya tidak lagi menganut paham bahwa PKL tidak mau ditata dan diatur. Pemerintah harus mengambil inisatif untuk mengintensifkan komunikasi dengan PKL agar dapat dihasilkan bentuk penataan dan pembinaan yang sejalan dengan kepentingan masing-masing pihak. Pilihan-pilihan kebijakan seharusnya diupayakan untuk tidak mengurangi peluang perolehan penghasilan para PKL. Dengan kata lain, Pemkot diharuskan peka terhadap karakteristik dan aspirasi para PKL.

Sumber : Lampung Post

Tidak ada komentar: