Wali Kota : Jangan Politisasi PKL

Jumat, Maret 30, 2007

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Wali Kota Bandar Lampung Eddy Sutrisno meminta masyarakat tidak memolitisisasi rencana memindahkan pedagang kaki lima (PKL) Pasar Bambukuning ke lantai II dan III Plaza Bambukuning.


Menurut Eddy, yang keberatan dalam penataan dan relokasi PKL itu bukan pedagang, tapi pihak-pihak lain yang ingin mencari keuntungan dalam rencana tersebut.

"Coba tanyakan, apakah yang ribut dan keberatan soal penataan dan relokasi itu benar-benar pedagang. Yang saya tahu, yang keberatan justru bukan pedagang," kata Eddy Sutrisno, kepada Lampung Post, Kamis (29-3).

Menurut Wali Kota, pada intinya PKL ingin hidup lebih baik daripada saat ini. Sehingga, Pemkot berencana merelokasi mereka ke lantai II dan III Bambukuning agar pedagang yang berstatus PKL tidak lagi berada di jalan. "Kita kan sudah komitmen, menata tanpa harus menggusur. Apalagi yang (harus) diributkan," kata dia.

Sebenarnya, PKL Bambukuning sama sekali tidak keberatan direlokasi ke lantai II dan III Bambukuning. Hanya, berkaca dengan pengalaman sebelumnya, penataan dan relokasi PKL berujung pada kerugian di pihak PKL sendiri.

Misalnya, jika Wali Kota dan Wakil Wali Kota menginginkan tidak ada pungutan apa pun terhadap relokasi di lapangan, prakteknya pungutan masih saja ada. "Pengalaman kami dulu, kami harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkan lapak atau kios di lokasi yang baru. Ini kan sangat memberatkan kami," kata Nurdin, seorang PKL.

Selain itu, kalaupun nanti PKL sudah pindah ke lantai II dan III Bambukuning, apakah ada jaminan lapak-lapak lama yang ditinggalkan PKL tidak diisi PKL baru dengan membayar sejumlah uang kepada oknum Dinas Pasar.

"Contohnya, PKL Pasar Smep disuruh pindah ke lantai II pasar itu. Ternyata, setelah lahan parkir kosong malah dibangun kios-kios baru," kata Yetti, pedagang lainnya.
Carut-marut relokasi PKL yang sangat merugikan PKL sebenarnya sudah terjadi sejak 1986 lalu. Di mana, sejak bangunan pasar tradisional tertua di Bandar Lampung berdiri, tahun 1974 dilakukan renovasi.

Waktu itu, keberadaan PKL masih diakui sebagai aset daerah yang perlu dilestarikan. Bahkan, PKL-PKL mendapat tempat yang layak dan nyaman, hidup di antara jalur dua toko dalam Pasar Bambukuning. Pada 1986, keberadaan PKL seakan mulai diharamkan berada di Bambukuning.

Sekitar 200 eks PKL Bambukuning terpaksa harus pindah ke Pasar Smep dan Pasar Pasirgintung bercampur dengan tukang sayur, ikan, daging, dan kebutuhan dapur lainnya. Bukan sedikit PKL harus gulung tikar dan mungkin memasok jumlah warga miskin di Bandar Lampung.

"Keberadaan PKL waktu itu harus kucing-kucingan dengan anggota polisi pamong praja. Dan, Bandar Lampung sempat mendapatkan kejayaan sebagai kota terbersih di Indonesia," kata Asmara (56), mantan PKL.

Namun, sejak memasuki masa reformasi, di mana banyak pengangguran akibat PHK massal, tumbuh subur PKL--bak cendawan di musim hujan-- keberadaan PKL seakan diberi kebebasan untuk tumbuh. Walau dianggap telah merusak pemadangan kota, pemkot tetap menarik rupiah demi rupiah dengan mengatasnamakan salar.

"Sekarang, setelah uang salar, keamanan, kebersihan diraup dari PKL, dengan mudah pemkot ingin merelokasi ke tempat yang bisa dikatakan sulit dijamah konsumen. Lihat saja nanti, setelah PKL naik kelantai II dan III, PKL baru akan bermunculan lagi," kata ibu enam anak itu.

Sumber : Lampung Post

Tidak ada komentar: