Relokasi PKL vs Pemkot

Jumat, April 13, 2007

Agus Utomo
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila

Berbicara relokasi pedagang kaki lima (PKL) maka tidak terlepas dari tata kota, keindahan, dan ketertiban. Relokasi PKL harus sama-sama dipahami sebagai sebuah solusi terbaik dalam menata kota bagi semua, oleh masing-masing pihak.


Ketika ada perbedaan pemahaman tentang relokasi atau tidak terbangunnya komunikasi secara dialogis antarpihak, menghambat proses. Antara Pemkot Bandar Lampung dan PKL berbeda keinginan, yang pada akhirnya terjadi unjuk rasa PKL menolak relokasi yang dilakukan pemkot karena dianggap tidak melibatkan atau mengajak PKL duduk bersama dalam membicarakan atau menentukan rencana relokasi.

Pemkot sebagai pihak yang memiliki kewenangan tentu tidak kemudian menutup mata, menutup kran-kran aspirasi, keluhan para PKL. Ketika kebijakan yang diambil tidak memperhatikan aspirasi yang ada, jelas akan ada reaksi dari PKL yang mungkin tidak terduga.

Pemkot dapat menata kota sesuai dengan amanat perda dan PKL juga tidak terganggu/dirugikan dalam menjalankan aktivitas usahanya serta ikut dalam menyukseskan penataan Kota Bandar Lampung tercinta agar rapi, tertata, tertib, dan nyaman dihuni.

Pelibatan PKL dalam proses pengambilan keputusan relokasi, perencanaan atau pencarian solusi oleh pemkot harus dilakukan, mengingat ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Masing-masing pedagang memiliki kebutuhan bagi dirinya maupun keluarganya. Dengan membuka ruang-ruang dialog, dengan duduk bersama akan dapat ditemui apa yang menjadi harapan, keinginan para pedagang.

Kemudian, dicari jalan terbaik bagi keberlangsungan proses kehidupan di Kota Bandar Lampung tercinta ini. Selama ini, yang terjadi adalah penertiban-penertiban dengan cara pembongkaran oleh aparat pemkot bahkan terkadang terjadi insiden-insiden kekerasan atau perusakan. Ini memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat, pemkot terkesan arogan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan. Ada oknum-oknum yang kemudian menimbulkan ketidaksimpatikan masyarakat terhadap aparat pemkot. Walaupun mugkin tidak sepenuhnya kesalahan dari pemkot, misalnya pedagang telah diberi peringatan tapi tidak juga pindah.

PKL merupakan aset daerah yang seharusnya dikelola dan dibina. Relokasi harus juga memperhatikan aspek sosial, bagaimana dampak yang nanti akan muncul ketika akan direlokasi dilakukan harus diestimasi, diperhitingkan, dipertimbangkan kemudian dipersiapkan antisipasi atas apa yang mungkin terjadi. Apa jadinya ketika lapangan usaha semakin sempit, sementara pencari kerja semakin bertambah banyak yang yang kemudian pada akhirnya akan berdampak pada timbulnya masalah-masalah sosial seperti pemerasan, pencurian dan lain sebagainya.

Pemerintah dan masyarakat (PKL) bukanlah musuh yang saling berhadapan dalam arena pertarungan, tetapi adalah dua elemen yang saling berhubungan, pemerintah tak ada bila tak ada masyarakat, begitu sebaliknya.

Sekali lagi, duduk bersama adalah langkah yang dapat ditempuh untuk meminimalisasi hal-hal yang tidak diinginkan oleh semua pihak. Tentu saja akan dapat mempermudah realisasi kerja yang dilakukan dari rencana yang telah disusun.

Nuansa kekeluargaan, kedekatan antara pemerintah dan masyarakat mesti dibangun dan dijaga keberlangsungannya. Pemerintah sebagai abdi masyarakat harus mampu menjadi pelayan yang baik bagi masyarakatnya.

Sumber : Lampung Post

Tidak ada komentar: