Penataan Pasar : Hasil Akhir Jumlah PKL 969

Selasa, April 17, 2007

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Jumlah pedagang kaki lima (PKL) Bambukuning hasil pendataan akhir sebanyak 969 pedagang.


Ketua Paguyuban PKL Bambukuning Agus Pranata Siregar mengatakan lima tim yang diturunkan melakukan pendataan menghasilkan penghitungan lapak PKL 969. Jumlah itu terdiri dari empat kelompok PKL yang berada di dalam kawasan Plaza Bambukuning sebanyak 650 pedagang.

Sedangkan satu kelompok PKL di luar kawasan Plaza Bambukuning sebanyak 310 pedagang. PKL yang berada di luar kawasan Bambukuning terbagi PKL di Jalan Bukit Tinggi 132 pedagang, Jalan Batusangkar (119), dan Jalan Imam Bonjol (59).

"Jumlah itu hasil dari pendataan tim gabungan. Kami berharap, jumlah PKL yang ada mendapatkan lapak saat akan direlokasi. Namun, melihat jumlah lapak yang ada di lantai II dan III, tidak mampu menampung PKL," kata Agus kepada Lampung Post, Senin (16-4).

Terkait dengan uji konstruksi oleh tim teknis Universitas Lampung (Unila), Agus mengatakan belum ada kesimpulan yang didapat. Sejak awal uji konstruksi, PKL tidak dilibatkan dan tidak pernah diberitahu. "Kami hanya menunggu hasil kesimpulan uji konstruksi," kata dia.

Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Bandar Lampung Heri Mulyadi membenarkan hasil jumlah pendataan PKL Bambukuning. Namun, hasil tersebut masih akan dilakukan verifikasi. "Kalau nanti hasil verifikasi jumlah lapak yang ada masih kurang, kemungkinan prioritas utama relokasi hanya untuk PKL yang berada di kawasan Plaza Bambukuning," kata Heri di ruang kerjanya, kemarin.

Sedangkan PKL di Jalan Bukit Tinggi, Batusangkar, dan Imam Bonjol, akan direlokasi ke Pasar SMEP dan Pasar Pasir Gintung. "Namun, relokasi yang dilakukan jangan sampai melanggar Perda No. 8/2000 tentang K-5," kata Heri.

Artinya, relokasi PKL ke Pasar SMEP dan Pasar Pasir Gintung tidak boleh menggunakan badan jalan, seperti adanya usulan pembuatan awning. "Kalau tidak memungkinkan direlokasi ke kedua pasar tersebut, maka harus dicarikan solusi lain," kata dia.

Sedangkan anggota Komisi C DPRD Bandar Lampung A. Farid Riza mengatakan selama ini jumlah PKL antara pedagang dan Dinas Pasar berbeda-beda. Agar tidak lagi ada tarik-menarik dalam rencana relokasi PKL, data yang digunakan adalah angka dari tim gabungan.

"Berdasarkan data itulah kita baru akan memulai relokasi. Kalau hasil pendataan jumlah lapak yang tersedia tidak sama dengan jumlah PKL, pengembang atau Pemkot harus menyiapkan penambahan lapak lebih dulu," kata dia.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

Penataan Bambu Kuning : Jumlah PKL Diperkirakan 625 Orang

Sabtu, April 14, 2007

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pedagang kaki lima (PKL) yang akan direlokasi ke lantai II dan III Pasar Bambu Kuning diperkirakan 625 orang.


Anggota Tim Gabungan Relokasi Pasar Bambu Kuning, Firmansyah, mengatakan di Bandar Lampung, sampai Jumat (13-4), jumlah PKL yang berhasil didata baru 560 orang. "Dari lima tim kecil yang bertugas mendata jumlah PKL, baru empat tim yang menyelesaikan tugas. Dari empat tim ini didapat angka 560 pedagang itu," katanya. Setelah satu tim lain selesai bertugas, ia memperkirakan jumlah PKL semuanya 625 pedagang.

Berdasar pada data tersebut, menurut Firman, jumlah lapak yang ada di lantai II dan III Pasar Bambu Kuning masih sangat kurang. Jika Tim Teknis Universitas Lampung (Unila) menyatakan bangunan itu layak ditempati, mau tidak mau harus ada penambahan jumlah lapak.

"PKL tentu saja menerima hasil pendataan dan verifikasi jumlah pedagang. Dalam pendataan tersebut, unsur yang mewakili PKL juga ikut turun lapangan dan sama-sama mendata jumlah pedagang yang ada," kata Wakil Ketua Komisi D DPRD Bandar Lampung itu.
Terkait hasil uji konstruksi, Firman menjelaskan hasilnya belum dapat disimpulkan. Tim Teknis Unila baru melakukan uji beban pada empat titik yang dianggap rawan. "Hasilnya, kemungkinan baru selesai minggu depan. Tim Teknis Unila akan membuat rekomendasi kepada Pemkot mengenai hasil uji teknis bangunan," kata dia.

Di tempat terpisah, Ketua Tim Teknis Fakultas Teknik Unila Masdar Helmi mengatakan hasil akhir kajian uji beban tersebut diperkirakan selesai tanggal 24 April.
Beberapa kegiatan pengujian terhadap konstruksi sudah dilakukan, seperti pengujian kekuatan beton dan beban (loading). "Sejak tanggal 10 lalu kami sudah mulai bekerja. Ada empat tahap yang akan dilakukan tim. Tahap pertama ini, kami melakukan peninjauan dan kajian lapangan terhadap konstruksi. Tujuannya melihat langsung apakah struktur seperti kolom, balok, balok anak, dan pelat lantai sudah memenuhi syarat dan tidak mengalami kerusakan," kata Masdar, kemarin.

Hasil peninjauan lapangan tersebut, kata Masdar, dapat digunakan menganalisis secara visual kekuatan gedung, sekaligus menentukan jenis kegiatan evaluasi yang perlu dilakukan.

Selain peninjauan lapangan, tim juga meneliti material yang digunakan dan ketahanan konstruksi terhadap beban.

Untuk menguji material tersebut, Tim Unila melakukan beberapa kegiatan seperti pengukuran dimensi dan jumlah tulangan yang terpasang pada struktur, pengambilan sampel baja tulangan dan pengujian kekuatan beton dengan hammer test.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

Dilema Penataaan PKL

Agus Siregar
Ketua Persatuan Pedagang Kaki Lima Tanjungkarang

Fenomena sektor informal lahir sebagai dampak dari krisis ekonomi yang menerpa Indonesia. Sejak krisis ekonomi 1997/98, kondisi perekonomian Indonesia sampai saat ini belum dapat dikatakan pulih. Laju perekonomian negeri ini terus diiringi dengan meroketnya angka pengangguran terbesar sepanjang sejarah bangsa ini.


Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandar Lampung, angka pengangguran di Lampung meningkat dari 333.535 jiwa pada tahun 2003 menjadi 355.740 jiwa pada tahun 2004. Pada tahun 2003, jumlah penduduk usia kerja (di atas usia 15 tahun) meningkat dari 4,68 juta jiwa menjadi 4,71 juta jiwa pada tahun 2004. Terakhir, BPS menyatakan di Lampung tahun 2006 meningkat dibandingkan dengan tahun 2005, yakni naik dari 0,36% menjadi 6,16%.

Sementara, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dalam waktu satu tahun terkahir meningkat dari 8,5% tahun 2005 menjadi 9,13% pada tahun 2006 (Lampost, 9 April 2006). Rasio ini menggambarkan bahwasannya banyaknya pencari kerja tidak berbanding dengan lapangan kerja yang tersedia.

Tingginya angka pengangguran berkorelasi dengan tumbuhnya kegiatan di sektor informal seperti pedagang kaki lima (PKL). Prof. Mubyarto menyatakan krisis moneter yang terjadi telah menurunkan kegiatan sektor modern/formal yang berdampak pada meningkatnya kegiatan ekonomi/industri sektor tradisional/informal/ekonomi rakyat. Usaha ini tumbuh dan berkembang bagai jamur di tengah situasi krisis yang melanda, dimana rakyat dituntut untuk tetap survive. Akhirnya, sektor-sektor informal dengan modal yang tidak terlalu besar menjadi pilihan pekerjaaan alernatif bagi rakyat di tengah sulitnya lapangan kerja.

Hak atas pekerjaan sangat penting untuk memberi jaminan terhadap martabat dan harga diri para pemilik hak yang tercantum dalam Pasal 6 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Kovenan Ekosob dirancang untuk menjamin perlindungan terhadap manusia dengan sepenuhnya berdasarkan pada suatu pandangan bahwa manusia berhak menikmati hak, kebebasan, dan keadilan sosial secara bersamaan. Indonesia merupakan salah satu negara yang terlibat dalam ratifikasi kovenan ini.

Pasal 6 Kovenan Ekosob tentang hak untuk bekerja ditujukan untuk menjamin pekerjaan kepada semua orang yang dapat bekerja. Pekerjaan yang dipilih secara bebas tetap menjadi bagian hakiki manusia. Bagi banyak orang, dalam hal ini PKL selaku pekerja informal, berdagang di kaki lima merupakan sumber utama pendapatan bagi penghidupan, kelangsungan hidup, dan kehidupannya. Hak untuk bekerja adalah hal yang sangat dasar bagi pemenuhan penghidupan. Sebagai bentuk usaha informal, PKL menjadi sandaran hidup bagi sebagian rakyat yang tak terserap dalam dunia kerja formal.

Harus diakui, fenomena PKL masih memendam banyak persoalan dalam pembangunan perkotaan di Indonesia, tak terkecuali di Kota Bandar Lampung sendiri. Dalam banyak kasus, memang keberadaan PKL lebih sering dipandang menganggu ketertiban dan keindahan kota. Karena itu, berita tentang penggusuran dan bentrokan antara PKL dan aparat Trantib kerap mewarnai media massa. Ironisnya, kalau boleh jujur, tentunnya aparat Trantib juga sering menarik uang dari para PKL, terlepas dari uang tersebut dimasukkan ke dalam kas negara atau tidak.

Penolakan para PKL yang ada di Bambukuning terhadap recana relokasi para PKL ke Lantai 3, dikarenakan para PKL menginginkan lokasi yang masih dekat dengan konsumennya. Kebijakan relokasi adalah pilihan kebijakan yang dalam kenyataan sering mengurangi penghasilan PKL.

Ketika lokasi baru yang ditentukan pemerintah berada jauh dari jalan raya maka sebetulnya para PKL tidak lagi menjadi PKL. Bukan bangunan mewah yang dibutuhkan oleh PKL, melainkan justru yang masih berciri kaki lima, sederhana, dan mudah terjangkau pengunjung. Sering, program pemerintah yang berbiaya mahal menjadi sia-sia karena fasilitas ini tidak sejalan dengan kebutuhan PKL.

Di sisi lain juga, kelayakan bangunan sebagai tempat relokasi masih diperdebatkan oleh berbagai pihak termasuk dari kalangan pedagang sediri. Ketua Komisi C DPRD Bandar Lampung Khairul Bakti sendiri menilai kondisi fisik lantai III Pasar Bambukuning tidak layak ditempati PKL karena rawan ambruk.

Penataan Partisipatif
Paradigma baru sektor informal melihat bahwa sesungguhnya sektor ini memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian, sehingga perlu didukung dan difasilitasi. Namun, dukungan dan fasilitas ini tidak akan banyak bermanfaat bagi sektor informal, seperti PKL, bila prosesnya tidak melibatkan para pelaku sektor tersebut.

Berdasarkan cara pandang yang baru tersebut, pemerintah perlu memberikan regulasi yang tepat untuk mendukung dan memfasilitasi sektor informal.

Selama ini dalam hal pembuatan peraturan dan rencana penataan, banyak pihak menilai bahwa pemerintah kurang mengikutsertakan mereka. Sebagai contoh Perda No.8/2000 tentang Keindahan, Ketertiban, Kenyamanan, Keamanan, dan Keapikan Kota Bandar Lampung, di mata PKL peraturan ini ujung-ujungnya dipandang hanyalah sebagai upaya pemerintah merelokasi PKL.

Wajar kemudian ketika kebijakan relokasi yang direncanakan oleh Pemkot Bandarlampung mendapatkan kecaman dari para PKL. Hal ini terjadi karena kebijakan relokasi itu sendiri dalam proses perencanaannya kurang melibatkan PKL, sehingga dianggap tidak sejalan dengan kebutuhan PKL. Pemerintah Kota Bandarlampung semestinya lebih serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL yang tergabung dalam paguyuban-paguyuban PKL sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.

Perlu dicatat pula bahwa pada dasarnya PKL bukannya tidak bersedia ditata dan dibina. Kalau ada kesan ketidakmauan, itu lebih karena kebijakan yang dipakai oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung hendaknya tidak lagi menganut paham bahwa PKL tidak mau ditata dan diatur. Justru pemerintah mesti mengintensifkan komunikasi dengan PKL melalui organisasi-organisasi pedagang yang telah ada agar dapat dihasilkan bentuk penataan dan pembinaan yang sejalan dengan kepentingan masing-masing pihak. Hal ini tentunnya dapat disiasati dengan penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses dalam hal proses pengambilan keputusan.

Aspek lain sepeti masalah regulasi, diluruskan pula bahwa pelaku sektor informal bukannya tidak mau diatur sehingga ilegal,melainkan yang dibutuhkan oleh para PKL adalah upaya pengurangan hambatan-hambatan registrasi dan biaya transaksi lainnya serta upaya meningkatkan manfaat dari regulasi. Oleh karena itu, tidak heran ketika regulasi tidak memberikan banyak manfaat maka pelaku sektor informal tidak meresponsnya secara sungguh-sungguh.

Sekali lagi, pemerintah hendaknya tidak lagi menganut paham bahwa PKL tidak mau ditata dan diatur. Pemerintah harus mengambil inisatif untuk mengintensifkan komunikasi dengan PKL agar dapat dihasilkan bentuk penataan dan pembinaan yang sejalan dengan kepentingan masing-masing pihak. Pilihan-pilihan kebijakan seharusnya diupayakan untuk tidak mengurangi peluang perolehan penghasilan para PKL. Dengan kata lain, Pemkot diharuskan peka terhadap karakteristik dan aspirasi para PKL.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

Pungli : Pecat Oknum Pejabat Kota

Jumat, April 13, 2007

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Komisi D DPRD Bandar Lampung mendesak Wali Kota memecat oknum pejabat eselon III berinisial HZ karena diduga terlibat pungutan liar (pungli) terhadap sejumlah pedagang di tempat penampungan sementara (TPS) Pasar Gudang Lelang.


Wakil Ketua Komisi D DPRD Bandar Lampung, Firmansyah, mengatakan pungli merupakan perbuatan korupsi yang harus ditindak tegas. "Kami mendukung langkah Pemkot memberikan sanksi tegas kepada tersangka pungli. Apalagi, pungli itu dilakukan seorang pejabat eselon III," kata Firman, Kamis (12-4).

Jika perlu, Firman menegaskan sanksinya berupa pemecatan. Tujuannya, memberikan efek jera kepada pejabat lain yang mungkin saja pernah melakukan pungli.

"Kami justru kasihan kepada Wali Kota yang selalu mengumandangkan keterbukaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kenyataannya, instruksi selama ini masih saja dimanfaatkan oknum aparatur mencari keuntungan," kata politisi Partai Golkar itu.

Ketua Komisi D DPRD Bandar Lampung, Heri Mulyadi, juga setuju oknum Dinas Pasar yang melakukan pungli terhadap sejumlah pedagang di TPS Pasar Gudang Lelang dipecat. Paling tidak, tindakan tegas yang akan dilakukan Pemkot dapat mencegah terjadinya pungli pada masa mendatang.

"Pungli di TPS Pasar Gudang Lelang bisa saja terjadi di lokasi lain jika tidak ada ketegasan dari pengambil kebijakan dalam memberikan sanksi. Apalagi, dalam waktu dekat Pemkot akan menata dan merelokasi PKL. Suasana ini mungkin saja dimanfaatkan oknum pejabat untuk melakukan pungli," kata dia.

Sebelumnya, Wakil Wali Kota Bandar Lampung Kherlani membenarkan adanya pungli di TPS Pasar Gudang Lelang. Diduga kuat, pelaku pungli tersebut seorang pejabat eselon III berinisial HZ. "Kami tinggal mendapatkan bukti berupa laporan dan kuitansi pungutan tersebut," kata Kherlani, kemarin.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

Relokasi PKL vs Pemkot

Agus Utomo
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila

Berbicara relokasi pedagang kaki lima (PKL) maka tidak terlepas dari tata kota, keindahan, dan ketertiban. Relokasi PKL harus sama-sama dipahami sebagai sebuah solusi terbaik dalam menata kota bagi semua, oleh masing-masing pihak.


Ketika ada perbedaan pemahaman tentang relokasi atau tidak terbangunnya komunikasi secara dialogis antarpihak, menghambat proses. Antara Pemkot Bandar Lampung dan PKL berbeda keinginan, yang pada akhirnya terjadi unjuk rasa PKL menolak relokasi yang dilakukan pemkot karena dianggap tidak melibatkan atau mengajak PKL duduk bersama dalam membicarakan atau menentukan rencana relokasi.

Pemkot sebagai pihak yang memiliki kewenangan tentu tidak kemudian menutup mata, menutup kran-kran aspirasi, keluhan para PKL. Ketika kebijakan yang diambil tidak memperhatikan aspirasi yang ada, jelas akan ada reaksi dari PKL yang mungkin tidak terduga.

Pemkot dapat menata kota sesuai dengan amanat perda dan PKL juga tidak terganggu/dirugikan dalam menjalankan aktivitas usahanya serta ikut dalam menyukseskan penataan Kota Bandar Lampung tercinta agar rapi, tertata, tertib, dan nyaman dihuni.

Pelibatan PKL dalam proses pengambilan keputusan relokasi, perencanaan atau pencarian solusi oleh pemkot harus dilakukan, mengingat ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Masing-masing pedagang memiliki kebutuhan bagi dirinya maupun keluarganya. Dengan membuka ruang-ruang dialog, dengan duduk bersama akan dapat ditemui apa yang menjadi harapan, keinginan para pedagang.

Kemudian, dicari jalan terbaik bagi keberlangsungan proses kehidupan di Kota Bandar Lampung tercinta ini. Selama ini, yang terjadi adalah penertiban-penertiban dengan cara pembongkaran oleh aparat pemkot bahkan terkadang terjadi insiden-insiden kekerasan atau perusakan. Ini memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat, pemkot terkesan arogan dalam pelaksanaan tugas pemerintahan. Ada oknum-oknum yang kemudian menimbulkan ketidaksimpatikan masyarakat terhadap aparat pemkot. Walaupun mugkin tidak sepenuhnya kesalahan dari pemkot, misalnya pedagang telah diberi peringatan tapi tidak juga pindah.

PKL merupakan aset daerah yang seharusnya dikelola dan dibina. Relokasi harus juga memperhatikan aspek sosial, bagaimana dampak yang nanti akan muncul ketika akan direlokasi dilakukan harus diestimasi, diperhitingkan, dipertimbangkan kemudian dipersiapkan antisipasi atas apa yang mungkin terjadi. Apa jadinya ketika lapangan usaha semakin sempit, sementara pencari kerja semakin bertambah banyak yang yang kemudian pada akhirnya akan berdampak pada timbulnya masalah-masalah sosial seperti pemerasan, pencurian dan lain sebagainya.

Pemerintah dan masyarakat (PKL) bukanlah musuh yang saling berhadapan dalam arena pertarungan, tetapi adalah dua elemen yang saling berhubungan, pemerintah tak ada bila tak ada masyarakat, begitu sebaliknya.

Sekali lagi, duduk bersama adalah langkah yang dapat ditempuh untuk meminimalisasi hal-hal yang tidak diinginkan oleh semua pihak. Tentu saja akan dapat mempermudah realisasi kerja yang dilakukan dari rencana yang telah disusun.

Nuansa kekeluargaan, kedekatan antara pemerintah dan masyarakat mesti dibangun dan dijaga keberlangsungannya. Pemerintah sebagai abdi masyarakat harus mampu menjadi pelayan yang baik bagi masyarakatnya.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

Nasib PKL : Sulitnya Cari Makan di Lumbung Padi

Senin, April 09, 2007

BANDAR LAMPUNG--Tanggal 16 April 2007 sebentar lagi. Pada tanggal tersebut, Pemerintah Kota Bandar Lampung memindahkan pedagang kaki lima ke lantai II dan III Pasar Bambukuning. Pertanyaannya, akankah relokasi itu berjalan mulus?


Pasar Bambukuning merupakan salah satu pasar tertua di Bandar Lampung, setelah Pasar Bawah (Ramayana) dan Pasar Cimeng (Telukbetung). Pasar tradisional asli orang pribumi itu, kini, sudah kehilangan roh sejak kaum berduit mengusik ketenangan pedagang dari lapak kaki lima. Sejarah mencatat, pasar yang pernah menjadi kebanggaan masyarakat Lampung ini, mulai ramai pada tahun 1963.

Masyarakat Jawa dan Sumatera berbaur mencari penghidupan dengan berjualan. Bedanya, masyarakat Jawa lebih pada usaha perdagangan hasil bumi dan sayur mayur, sedangkan masyarakat Sumatera berjualan sandang. Kalaupun ada keturunan Tionghoa dan India yang mendiami Bambukuning tempo dulu, mereka berjualan emas dan hasil bumi seperti tembakau dan cengkih.

Ke mana masa keemasan Bambukuning tempo dulu? Sejarah pula mencatat, tahun 1974, Pasar Bambukuning pertama kali direnovasi. Waktu itu, tidak lebih dari 257 pedagang toko dan 150-an PKL mendiami kawasan ini. Setelah direnovasi, seluruh pedagang toko dan PKL tetap eksis menunjukan jati diri sebagai pembangun perekonomian di Bandar Lampung.

Namun, pada tahun 1986, Bambukuning kembali direnovasi. Sayangnya, sejak itu pula keberadaan PKL seakan diharamkan. Jangankan PKL sebagai pedagang bermodal kecil, 97 pedagang toko pun harus berjuang menuntut hak mereka bisa berusaha lagi.
Setelah melalui perjuangan yang tak kenal lelah, hanya 46 pedagang toko yang mendapatkan kembali hak mereka dengan menempati kios pengganti yang berdiri di atas lahan parkir. Lalu ke mana PKL mencari perlindungan?

Nasib PKL setelah renovasi Pasar Bambukuning tahun 1986 ibarat ayam yang berusaha mencari makan di lumbung padi, selalu terancam.

Di era 1990, PKL harus kucing-kucingan dengan Polisi Pamong Praja (Pol. PP) di bawah kepemimpinan Wali Kota Nurdin Muhayat.

Masa keemasan PKL kembali bersinar sejak tumbangnya rezim Orde Baru berganti masa reformasi. Akibat PHK massal, PKL tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Aksi premanisme, lemahnya pengawasan aparatur, dan ketamakan pejabat mencari untung, membuat PKL seakan terlindungi.

Tak heran, jika saat ini, Jalan Batusangkar dan Jalan Bukittinggi di depan pertokoan Diamon dan halaman Parkir Bambukuning, PKL seakan membuat kusam wajah Kota Bandar Lampung. Pelataran parkir ini mulai tak sedap dipandang mata sejak dibangun kios-kios kecil.

Ketika pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandar Lampung periode 2005--2010, Eddy Sutrisno dan Kherlani dilantik, slogan ayo bersih-bersih (ABB) mengumandang di seluruh kota. Slogan ini, di satu sisi ingin mengembalikan kejayaan Bandar Lampung sebagai kota terbersih di Indonesia, di pihak lain menjadi hantu menakutkan bagi PKL.

Pada akhirnya, keluarlah ultimatum, pada tanggal 16 April 2007, PKL Bambukuning harus mengosongkan kawasan parkir dan hengkang dari Jalan Bukittinggi dan Batusangkar. Pemkot beralasan, menata dan merelokasi tidak dengan cara menggusur. Lahan di lantai II dan III Bambukuning disiapkan untuk sekitar 900 PKL.

Namun, PKL jangan berharap banyak dapat menempati lantai II Bambukuning. Sebab, semua lapak dan kios telah terisi dengan kewajiban membayar Rp90 juta untuk kios dan Rp1 juta untuk lapak. Sedangkan untuk menempati lantai III, PKL harus waswas kalau-kalau Bambukuning akan menjadi kuburan massal.

Saat Lampung Post mengunjungi lantai III Bambukuning, terasa guncangan seperti gempa. Padahal, waktu itu hanya ada sekitar 30 rombongan anggota Dewan dan sejumlah PKL yang menunjukan kondisi lapak di lantai III.

Dengan jumlah orang sebanyak ini saja sudah terasa guncangannya, apalagi sampai 482 PKL naik ke lantai III ini. Beban tersebut belum ditambah beban tidak bergerak dan jumlah pengunjung yang mau mengunjungi lantai III. "Saya hanya khawatir Bambukuning akan menjadi kuburan massal," kata Nurdin, salah seorang PKL.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

Relokasi PKL : Kondisi Fisik Lantai Tiga Bambu Kuning Rawan

Sabtu, April 07, 2007

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Ketua Komisi C DPRD Bandar Lampung Khairul Bakti menilai kondisi fisik lantai III Pasar Bambukuning tidak layak ditempati pedagang kaki lima (PKL) karena rawan ambruk.


"Oleh karena itu, kami minta Unila melakukan uji konstruksi," kata Ketua Komisi C DPRD Bandar Lampung Khairul Bakti dalam dialog antara PKL, Pemkot, Muspida, dan DPRD di ruang Tapis Berseri, Pemkot Bandar Lampung, Kamis (5-4).

Menurut Khairul, sebenarnya dalam relokasi tersebut harus ada kesepakatan semua pihak agar tidak melanggar Perda No. 8/2000 tentang Keindahan, Ketertiban, Kenyamanan, Keamanan, dan Keapikan Kota Bandar Lampung.

"Jika semua tidak sepakat untuk melanggar, ayo sama-sama kita mencari solusi terbaik dalam relokasi PKL dengan mendengarkan masukan-masukan semua pihak. Apa yang dikhawatirkan PKL sangat beralasan. Kami yang hanya 20 orang melakukan sidak ke lantai III, konstruksi bangunan sudah goyang," kata Khairul.

Semula, dalam dialog yang dipimpin Wakil Wali Kota Bandar Lampung Kherlani, Pemkot tetap menargetkan waktu relokasi tanggal 16 April 2007 (bukan tanggal 15). Namun, kata Kherlani, jika ada masalah-masalah teknis yang dikhawatirkan oleh PKL, mari sama-sama dicarikan solusinya.

"Kalau memang PKL mengkhawatirkan masalah teknis konstruski bangunan, silakan dimusyawarahkan. Jika nanti hasil penelitian konstruksi bangunan tidak layak huni, kami pun akan mencari solusi lain. Tapi, jika dianggap layak, tidak ada alasan bagi PKL untuk direlokasi," kata Kherlani.

Dalam dialog yang juga dihadiri Kapoltabes Bandar Lampung Kombes Endang Sunjaya dan anggota Muspida lainnya, serta Wakil Ketua DPRD Bandar Lampung Hantoni Hasan, seluruh pimpinan komisi dan fraksi DPRD sempat berjalan tegang. Hal itu disebabkan perwakilan PKL yang dipimpin Zulkarnain meminta Pemkot membatalkan batas waktu relokasi tanggal 16 April 2007 tersebut.

"Jika kami harus pindah ke lantai III yang kami anggap sangat tidak layak, Pemkot bukan ingin meningkatkan kesejahteraan kami. Tapi, akan membunuh kami secara perlahan," kata Koordinator Paguyuban PKL Bambukuning Agus Siregar.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

Tata Kota : PKL Bambu Kuning Tetap Direlokasi

Kamis, April 05, 2007

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemkot Bandar Lampung tetap merelokasi pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Bambu Kuning. Pemkot akan menggelar dialog hari ini (5-4) dengan sejumlah PKL untuk membahas teknis dan konsep penataan.


"Jadwal penataan dan relokasi tidak berubah, tetap tanggal 15 April. Kami akan mengakomodasi keinginan PKL," kata Kepala Dinas Pasar Bandar Lampung Hanibal, Rabu (4-4).

Untuk melibatkan PKL dalam penataan, ujar Hanibal, hari ini, pukul 14.00, akan dilakukan pertemuan antara pedagang, Muspida, DPRD, dan Wali Kota di ruang Tapis Berseri, Pemkot Bandar Lampung.

Wali Kota Eddy Sutrisno tidak keberatan dengan rencana pertemuan hari ini asalkan untuk kepentingan semua pihak. Eddy menegaskan penataan dan relokasi untuk kebaikan PKL.

"Sosialisasi sudah dilakukan beberapa kali. Penataan PKL sudah dibahas dan dianggarkan Dewan. Salah besar kalau ada pihak yang mengatakan Pemkot tidak melibatkan Dewan," kata Eddy.

Menurut Eddy, PKL bukan hanya masalah kesemrawutan, melainkan juga kebersihan, kemacetan, dan kekumuhan. Artinya, penataan ini bukan hanya menyangkut Dinas Pasar.
Koordinator Aliansi PKL Bandar Lampung Zulkarnain menyabut baik pertemuan hari ini asalkan tidak ada intimidasi. "Itu yang selama ini kami tunggu-tunggu," kata dia.
Soal lokasi, Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Bandar Lampung Dhomiril Hakim Yohansyah mengusulkan kawasan Terminal Pasar Bawah. Selain lebih mudah menata PKL, kios-kios dalam terminal itu juga dapat difungsikan dengan baik.

Terminal Pasar Bawah, ujar Dhomiril, dialihkan ke Gudang Bandung milik PT KA. "Soal penataan lalu lintas, mari sama-sama membuat rumusannya," kata Dhomiril.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

DPRD tak akan Penuhi Tuntutan PKL

Rabu, April 04, 2007

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Meskipun pedagang kaki lima (PKL) mendesak Wali Kota dan DPRD mencabut Perda No. 8/2000 tentang Kebersihan, Keindahan, Kenyamanan, Keamanan, dan Keapikan, anggota Dewan tak akan memenuhi tuntutan tersebut.


Anggota Fraksi Reformasi DPRD Bandar Lampung A. Farid Riza mengatakan berdasarkan historisnya, keberadaan PKL memang menempati ruang-ruang publik, seperti di pinggir jalan atau di atas trotoar. Namun, harus ada aturan kapan PKL dapat menggelar usahanya.

"Artinya, tempat usaha PKL tidak dibuat permanen seperti saat ini. Mereka harus berusaha menggunakan gerobak yang dapat dipindahkan setelah menutup usahanya. Sehingga, tidak ada kesan kumuh di lokasi yang banyak ditempat PKL," kata Riza, di ruang kerjanya, Selasa (3-4).

Menurut Riza, jika berpedoman pada konsep awal penataan dan relokasi yang ditawarkan Pemkot, sebenarnya tidak perlu ada usulan pencabutan Perda No. 8/2000. Kalau perda tersebut dinilai sangat merugikan keberadaan PKL yang dianggap membuat kumuh wajah kota, lebih baik beberapa pasal yang akan membelenggu kebebasan PKL direvisi.

"Artinya, usulan pencabutan itu harus benar-benar dikaji ulang. Dan, pencabutan perda pun ada aturannya. Di mana, jika lima puluh persen dari isi perda itu memang tidak lagi relevan bagi kemaslahatan masyarakat banyak," kata dia.

Sehingga, jika Perda No. 8/2000 itu dicabut, kata Riza, akan semakin banyak kepentingan publik yang tidak memiliki payung hukum. "Adanya perda itu saja masih banyak kepentingan publik yang dirampas, apalagi tidak ada payung hukum untuk melindungi kepentingan publik yang lebih luas," kata dia.

Sedangkan Wakil Ketua Komisi D DPRD Bandar Lampung Firmansyah menjelaskan Perda No. 8/2000 banyak berbicara soal perlindungan kepentingan publik. Misalnya, mengenai kenyamanan pejalan kaki yang menggunakan trotoar atau kenyamanan masyarakat dalam merasakan keindahan kota.

"Jangan sampai, pencabutan perda tersebut seperti pencabutan perda parkir. Payung hukum yang baru belum ada, parkir liar sudah menjamur di mana-mana," kata anggota Fraksi Partai Golkar itu.

Sementara itu, anggota Fraksi PKS DPRD Bandar Lampung Fahmi Sasmita mengatakan dalam mengusulkan pencabutan, revisi, atau pembentukan perda ada dua lembaga yang berwenang. Yaitu, atas usulan inisiatif Dewan atau usulan dari eksekutif.

Sehingga, jika ada pihak ketiga (PKL/masyarakat) ada yang mengusulkan ada pencabutan perda, silakan diajukan melalui legislatif atau eksekutif.

"Namun harus diingat, Perda No. 8/2000 tentang K-5 itu masih sangat relevan dan dapat melindungi kepentingan publik yang lebih luas. Untuk itu, perda tersebut tidak harus dicabut, tapi direvisi beberapa ayat saja, untuk mengakomodasi kepentingan PKL," kata anggota Komisi A itu.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

PKL Bambu Kuning Tolak Relokasi

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Ribuan pedagang kali lima (PKL) Bandar Lampung menolak relokasi PKL Bambu Kuning ke lantai II dan III Plaza Bambu Kuning. Mereka mengancam menduduki Kantor Wali Kota jika Pemkot tidak mengubah kebijakan.


Sekitar pukul 10.00, Selasa (3-4), 2.000-an PKL yang tergabung Aliansi PKL Bandar Lampung menggelar demo di Kantor DPRD kota. Iring-iringan PKL sepanjang 150-an meter sempat memacetkan lalu lintas. Mereka bergerak dari Plaza Bambu Kuning menuju Balai Kota.

Massa terus bergerak sambil mengusung spanduk, bendera, pamflet, dan meneriakkan yel-yel mengkritik wali kota.

"Kami akan melakukan perlawanan sampai tuntutan kami dikabulkan. Pemerintah jangan mementingkan diri sendiri dan pengusaha saja. Penjahat saja masih bisa dilindungi, mengapa kami yang mencari nafkah demi keluarga harus digusur begitu saja," kata Rifki, salah satu koordinator lapangan Aliansi PKL.

"Kami juga menolak dan meminta Perda 8/2000 (tentang Keindahan Kota, red) dicabut. Perda itu hanya merugikan PKL," kata dia.

Jhon Kenedi, korlap lain, meminta Wali Kota memosisikan PKL sebagai aset daerah yang harus dibina. Menurut dia, relokasi ke lantai II dan III Plaza Bambu Kuning akan membunuh PKL secara perlahan. "Kami butuh iktikad baik Pemkot dalam penataan PKL. Kami bukan menolak penataan dan relokasi, tapi libatkan kami dalam rencana penataan tersebut," kata dia.

Jika dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada perubahan kebijakan, PKL akan menggelar demo setiap hari sampai tuntutan dikabulkan. "Jika sampai Senin (9-4) tidak ada solusi, kami akan membawa tenda dan menduduki Kantor Wali Kota," kata Agus Siregar, korlap Aliansi PKL.

Rencananya, Pemkot mulai merelokasi PKL pada tanggal 15 April mendatang.
PKL menolak direlokasi karena harus mengeluarkan uang Rp1 juta--Rp90 juta untuk mendapatkan lapak dan kios di lantai II. Ini berbeda dengan pernyataan Wakil Wali Kota Bandar Lampung Kherlani yang mengatakan PKL tidak dikenakan pungutan apa pun setahun ke depan.

"Kami harus membayar lapak dan kios di lantai II kepada pengembang. Kalau di lantai III, siapa yang akan beli dagangan kami. Relokasi ini tidak akan meningkatkan kesejahteraan kami, justru membuat PKL makin miskin," kata Rizal, salah satu PKL.
Setelah orasi lebih satu jam, 20 perwakilan PKL diterima unsur pimpinan komisi dan fraksi DPRD Bandar Lampung. Wali Kota Eddy Sutrisno tidak menghadiri pertemuan yang dipimpin Ketua Komisi D Heri Mulyadi. Pemkot hanya mengutus Asisten III Syahril Alam.
Sekitar pukul 12.30, pertemuan dapat mengambil kesimpulan. Intinya, dalam waktu 3 x 24 jam, Dewan akan memfasilitasi pertemuan antara PKL dan Wali Kota.

"Kami siap pasang badan, jika sebelum tanggal 15 April ada penggusuran. Kami siap berada di depan teman-teman pedagang guna menggagalkan rencana Pemkot yang tidak melibatkan PKL dalam penataan dan relokasi," kata anggota Fraksi Partai Golkar Firmansyah.

Wakil Ketua KOmisi D ini setuju dengan rencana relokasi yang menelan Rp9,6 miliar apalagi sudah ada kesanggupan dari PKL. Namun, ujarnya, Pemkot harus melibatkan PKL dalam pengambilan kebijakan.

"Yang dihadapi kini ialah hajat hidup PKL. Kami menyetujui anggaran penataan PKL sampai Rp9,6 miliar asalkan tidak ada keterlibatan pihak ketiga," katanya.

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......

Aliansi PKL Tolak Penggusuran

Selasa, April 03, 2007

BANDAR LAMPUNG (LAMPOST): Aliansi Pedagang Kaki Lima (PKL) meminta Pemerintah Kota Bandar Lampung menghentikan penggusuran PKL yang direncanakan pada tanggal 15 April 2007. Untuk menyampaikan aspirasinya itu, sekitar 1.500 PKL akan melakukan demo ke DPRD dan Kantor Pemkot Bandar Lampung, hari ini (3-4).


Ketua Persatuan PKL Tanjungkarang Agus Franata Siregar mengatakan Pemerintah Kota Bandar Lampung tidak pernah melibatkan PKL dalam perencaan dan pelaksanaan relokasi PKL.

Padahal, kata dia, aliansi PKL sudah 15 kali mengirimkan surat audiensi ke Wali Kota agar pedagang diajak duduk bersama membahas konsep relokasi.

"Kami menolak relokasi yang paksakan oleh Wali Kota, PKL akan demo setiap hari sampai kami diajak duduk bersama untuk membahas relokasi itu," kata Agus saat mengunjungi Lampung Post, Senin (2-4).

Dalam kunjungan itu juga hadir S.N. Laila (Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Damar), Andri (wakil ketua PKL Pasar Tugu), Syafril (ketua PKL Pasar SMEP), Jan Hot E. Girsang (Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Bandar Lampung), Rifky Indrawan (Sekber Persatuan PKL Tanjungkarang), dan pengurus lainnya.

Mereka diterima oleh Pemimpin Redaksi Lampung Post Ade Alawi. Agus mengatakan aksi penolakan relokasi itu murni aspirasi dari pedagang kaki lima, tidak ada politisasi dari pihak manapun. Para PKL hanya meminta dukungan ke mahasiswa, aktivis LSM, dan pers untuk membela kepentingan mereka sebagai rakyat kecil.

"Pedagang sayur seperti kami kok dituduh memolitisasi PKL, kami memikirkan perut keluarga kami," kata Andri.

Sedangkan Rifki menjelaskan Aliansi PKL sudah beberapa kali mengajukan konsep relokasi PKL, tetapi tidak pernah dibahas oleh aparat pemda.
Menurut dia, relokasi ke lantai III Pasar Bambu Kuning hanya akan membunuh pedagang secara perlahan.

"Relokasi yang dilakukan pemda tidak memperhatikan kelayakan dan keberlangsungan kami pedagang kecil. Katanya gratis, tetapi di lapangan, pihak kontraktor sudah meminta kami menyiapkan dana Rp1 juta/tahun untuk menyewa enam keramik," kata dia.

Penataan PKL hanya dijadikan proyek oleh pemda dan pihak developer untuk mencari untung dari pedagang kecil. Bahkan informasi yang mulai beredar di kalangan pedagang, PT Sanjaya Rezeki Mas sudah mematok harga Rp90 juta/kios di lantai dua pasar Bambu Kuning.

Sementara itu, Laila mengatakan Pemerintah Kota tidak pernah belajar ke daerah lain yang berhasil menertibkan PKL melalui proses yang aspiratif, transparan, dan akuntabel. "Pemda kita malah melakukan proses pembodohan dan pemiskinan masyarakat," kata dia.

Menurut dia, restribusi yang dibayar PKL mencapai Rp1,5 miliar, tetapi sarana dan prasarana serta pelayanan dari pemerintah tidak sesuai dengan pungutan yang telah dibayar PKL. n RIN/KIM/K-2

Lima Tuntutan Aliansi PKL Bandar Lampung:
1. Hentikan rencana penataan PKL yang telah diprogram dan dianggarkan dalam APBD 2007 sampai ada solusi yang adil bagi PKL
2. Hentikan rencana penggusuran PKL pada tanggal 15 April 2007 sampai ada tempat relokasi yang layak, murah dan mudah dijangkau oleh masyarakat
3. Cabut Perda Nomor 8 Tahun 2000
4. Libatkan PKL sebagai pihak yang terkena dampak dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program penataan PKL di Bandar Lampung.
5. Tolak keterlibatan pihak ketiga (pengembang/developer) dalam penataan PKL

Sumber : Lampung Post

Selengkapnya......